Sabtu, 29 - November - 2014
Makalah Khawarij dan Murji'ah
|
PENGANTAR
ILMU KALAM
Kerangka
berpikir Khawarij dan Murjiah
|
DOSEN
PEMBIMBING
Norhidayat,
S, Ag., M.A
|
Muhammad Nor Yasin :
1201421337
Muhlis Raya :
1201421377
PENDAHULUAN
Perbedaan paham dalam Islam sudah muncul sesaat setelah
Rasulullah saw. wafat. Pokok perselisihan yang timbul adalah persoalan siapakah
yang berhak memegang khalifah (pemimpin kaum muslimin) sesudahnya. Perselisihan
ini muncul kembali setelah ada peristiwa yang disebut “Peristiwa Ali r.a.” yang
kontra dengan Utsman r.a. yang telah menimbulkan persengketaan dan perbedaan di
kalangan kaum muslimin untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah.
Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi titik tolak dari
perselisihan dan peperangan di antara kaum muslimin. Dengan terjadinya fenomena
tersebut lalu muncullah aliran-aliran baru dalam Islam. Dalam makalah kami ini
akan dijelaskan dua golongan Khawarij dan Murjiah terkait tentang lahirnya,
tokoh-tokohnya, bagaimana status dosa besar dan pemahaman mereka terhadap
Alquran.
PEMBAHASAN
Sejarah Lahirnya Aliran
Khawarij dan Murji’ah
A. Khawarij
1.
Latar belakang
Secara etimologis kata
Khawarij berasal dari bahasa Arab yaitu kharaja yang berarti keluar,
muncul, timbul atau memberontak. Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut
Khawarij terhadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan pengertian
etimologi ini pula Khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari
kesatuan umat Islam.[1][1]
Adapun dalam terminologi
Ilmu Kalam yang dimaksud Khawarij adalah suatu kelompok atau aliran pengikut
Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan
terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam
perang shiffin pada tahun 376 H / 648 M dengan kelompok bughat
(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah.[2][2] Kelompok Khawarij pada
mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali
merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara
Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah,
lagipula berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh
kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik
ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib. Ali
sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah,
sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan
sebagian pengikutnya, ahli Qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin
Fudaiki At-Tamimi, dan Zaid bin Husien Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Askar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas
sebagai delegasi juru damai (hakam), tetapi orang-orang Khawarij menolaknya,
mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri.
Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-asy’ari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah, keputusan tahkim,
yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan
mengangkat Muawiyah menjadi pengganti Ali dan ia mengecewakan orang-orang
Khawarij, mereka membelot dan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada
manusia? Tidak ada hukum selain hukum yang ada disisi Allah.” Imam Ali
menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan salah.”
pada saat itu orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung
menuju Hurura, itulah sebabnya Khawarij disebut juga dengan nama
Hururiah, kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al-Mariqah.
Gelar kaum khawarij yang
disebutkan dengan Syurah mempunyai sebuah makna yang berarti orang-orang
yang mengorbankan dirinya untuk keridhaan Allah, mereka mendasarkan pada ayat:
Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
Ajaran-ajaran pokok dalam
aliran Khawarij berkenaan dengan masalah khilafah atau kepemimpinan,
dosa dan iman. Apabila kelompok Syi’ah berpendapat bahwa khilafah itu bersifat Wharatsah,
yaitu warisan, turun-temurun dan demikian pula yang terjadi kemudian
khalifah-khalifah bani Umayyah dan bani Abasiyah, maka berbeda sama sekali
dengan pendirian Khawarij tentang khalifah. Mereka menghendaki kedudukan
khalifah secara demokrasi melalui pemilihan bebas.
Menurut kaum Sunni,
khalifah haruslah seorang penguasa yang bebas, tanpa kesanggupan untuk mengurus
soal-soal negara dan pemimpin jamaah waktu sembahyang.
Asal mula ajaran Khawarij
adalah hal-hal yang berkaitan dengan khalifah, mereka berpendapat sahnya
khalifah Abu Bakar dan Umar karena sahnya pemilihan keduanya, dan sahnya
khalifah Utsman pada beberapa tahun awal pemerintahannya. Tatkala dia berubah
dan menyimpang kebijaksaannya dan tidak mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar dan
berbuat hal-hal apa yang diperbuatnya (menyimpang), maka dia wajib dipecat.
Mereka menghukuminya kafir karena menerima tahkim mereka juga mengutuk
(mengkafirkan) orang-orang yang terlibat perang jamal: Thalhah, Zubair, dan
Aisyah. Sebagaimana mereka mengkafirkan Abu Musa Al-asy’ari dan Amr bin Ash’.[3][3]
Al Muhakkimah, ini juga
termasuk gelar kaum Khawarij yang pertama kali dinisbahkan kepada mereka,
karena pengingkaran mereka terhadap tahkim, ketika ingin memberontak terhadap
penguasa atau ketika menyerang orang-orang yang menyelisihi mereka.[4][4]
Gerakan Khawarij bercabang
dua, satu bermarkas di sebuah negeri namanya Bathiah yang menguasai dan
mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia dan satu lagi Kiraman untuk
daerah-daerah sekeliling Irak. Cabang yang kedua di Arab daratan yang menguasai
kaum Khawarij yang berada di Yaman, Hadramaut dan Thaif.[5][5]
2.
Tokoh-tokoh Khawarij:
|
1. Urwah bin Hudair
|
7. Najdah bin ‘Amir
|
|
2. Najdah bin Uwaimir
|
8.Ubaidillah bin Basyir
|
|
3. Mustaurid bin Sa’ad
|
9. Zubair bin Ali
|
|
4. Hautsarah bin al Asadi
|
10. Qathari bin Fujaah
|
|
5. Quraib bin Marrah
|
11. Abdu Rabbih
|
|
6. Nafi’i bin Azraa
|
|
3.
Status dosa besar menurut Khawarij
Ciri yang menonjol dari
aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan
kalam. Hal ini di samping didukung oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis
gurun pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual terhadap nash-nash
Alquran dan Hadis. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula
tentang status dosa besar, mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat
dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Muawiyah, Amr bin Al-Ash’, Abu Musa
Al-Asy’ari adalah kafir, berdasarkan firman Allah pada surah Al-ma’idah ayat
44:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Semua pelaku dosa besar (murtakib
al-kabirah), menurut semua subsekte dari golongan khawarij, kecuali
subsekte Najah, adalah kafir dan akan disiksa dalam neraka untuk
selamanya, bahkan subsekte yang dikenal lebih ekstrim yaitu subsekte Azzariqah,
mengunakan istilah musyrik. Tuduhan mengkafirkan saudara Muslim itu
pun sangat biasa di kalangan Khawarij bahkan Nafi bin Azraq, yang digelari
Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij mengatakan bahwa orang-orang yang
membantahnya adalah kafir dan halal darahnya, hartanya, dan anak istrinya.
4.
Pemahaman Khawarij dalam mengkaji Alquran.
Pahaman kaum khawarij ini
dalam memahami Alquran adalah menyimpang dalam penafsirannya, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menyatakan:
Bid’ah pertama terjadi
seperti bid’ah Khawarij hanyalah disebabkan kesalah pahaman mereka terhadap
Alquran, tidak ada maksud menentangnya, namun memahami Alquran dengan salah
sehingga meyakini bahwa sesuatu itu mengharuskan pengkafiran para pecandu dosa,
karena mukmin itu hanyalah yang baik dan takwa. Mereka menyatakan: “siapa yang
tidak baik dan takwa maka ia kafir dan kekal dalam neraka.” Kemudian
menyatakan: “Ustman, Ali dan orang yang mendukung mereka berhukum dengan selain
hukum Islam.” Sehingga kebid’ahan mereka memiliki alur sebagai berikut:
Ø Siapa yang menyelisihi
Alquran dengan amalannya atau pendapat yang salah, maka telah kafir.
Ø Ali dan Utsman dan semua
yang mendukung keduanya dulu berbuat tidak mengikuti Alquran dan sunnah.
B. Murji’ah
1. Latar belakang kelahirannya aliran Murji’ah.
Sejarah mencatat lahirnya
aliran Murjiah pada akhir abad pertama Hijrah ketika ibukota kerajaan Islam
dipindahkan ke Kuffah kemudian pindah lagi ke Damaskus.[6][6] Sedangkan nama Murjiah
diambil dari kata irjā’ atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan,
yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh penganpunan dan
rahmat Allah. Selain itu arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau
mengemudikan, yaitu orang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murjiah
artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa,
yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[7][7]
Seperti halnya aliran-aliran kalam lainnya, kemunculan
aliran Murji’ah juga dilatar belakangi oleh politik. Sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa pusat pemerintahan dipindah ke Damaskus, maka sejak itulah
mulai tampak kurang taatnya beragama dalam kalangan penguasa Bani Umayyah.[8][8]
Nash Hamid Abu Zayd menyatkan
Murjiah secara epistemologi terbagi kepada dua kubu; penganut Jabariyah
(kelompok Jahm ibn Shafwan) dan penganut Qadariyyah (kelompok Ghaylan
ad-Dimasyqi.[9][9] Kedua kubu ini sepakat
mendefinisikan iman sebagai pengetahuan tentang Allah. Mereka berbeda pada
konsep kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan disebabkan perbedaaan
pandangan mereka tentang kebebasan manusia.
Kalau dilihat dari sisi
mereka berpendapat tentang keimanan Murji’ah terbagi kedalam tiga golongan:
Pertama: Mur’jiah Jahmiyyah, mereka mengatakan bahwa iman itu hanya di hati saja,
tidak ada sangkut pautnya dengan lisan (ucapan) dan perbuatan.
Kedua: Murji’ah Karramiyah, mereka mengatakan bahwa iman ucapan dengan lisan
semata-mata tanpa ikatan hati dan perbuatan.
Ketiga: Murji’ah Fuqaha, mereka mengatakan bahwa iman itu ialah membenarkan di
hati dan di ucapkan dengan lisan. Sedangkan
perbuatan tidak termasuk di dalam bagian keimanan.
Kelompok yang ketiga
inilah yang terbaik dibandingkan dengan dua golongan Mur’jiah yang lainnya.
Akan tetapi tetaplah sangat buruk dibandingkan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
yang meyakini bahwa iman itu bertambah dengan amal dan ta’at dan berkurang
dengan maksiat dan perbuatan (amal) itu masuk dalam keimanan.[10][10]
2.
Status dosa besar menurut paham Mur’jiah.
Dalam bidang teologi
mengenai dosa besar, kaum Murji’ah terbagi kedalam dua golongan:
Pertama: Golongan Ekstrim, golongan ini dipimpin Al-jahamiyah (pengikut Jaham ibn
Safwan) mererka berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufuran dengan lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman
dan kafir bertempat di hati. Pendapat lain, bahwa iman adalah mengetahui Tuhan
dan sembahyang bukanlah ibadah, ibadah adalah iman kepadanya. Artinya mengetahui
Tuhan, merka ini adalah pengikut Abu Al-hasan Al-salihi.
Kedua: Golongan Moderat, golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka.[11][11]
Ajaran kaum Murji’ah
Moderat inilah yang dapat diterima oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah dalam
Islam.
3.
Tokoh-tokoh Murji’ah.
Golongan Ekstrim:
a. Jaham ibn Safwan
b. Abu Al-hasan Al-salihi
c. Al Baghdadi
d. Al Yunusiah
e. Al ‘Ubaidiyah
f. Muqatil ibn Sulaiman
g. Al Khasaniyah
Golongan Moderat:
a. Al Hasan ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abi Thalib
b. Abu Hanifah
c. Abu Yusuf
4.
Doktrin-doktrin utama aliran Murji’ah.
Menurut W. Montgomery Watt
merincikan sebagai berikut :
a.
Penangguhan keputusan terhadap Ali
dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam
peringkat Khalifah Rasyiddin.
c.
Pemberian harapan terhadap orang muslim
yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d. Doktrin – doktrin murji’ah menyerupai pengajaran para
skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Menurut Harun Nasution, ada 4 ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah
yaitu :
a. Menunda hukuman
atas Ali, Mu’awiyah,Amr bin Ash, dan Abu Musa Al – Asy’ari yang terlibat tahkim
dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang
berdosa besar.
c.
Meletakkan pentingnya iman daripada
amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar
untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Berbeda dengan Abu ‘Ala Al Maududi yang hanya menyebutkan 2 doktrin pokok ajaran Murji’ah,
yaitu :
a.
Iman adalah percaya kepada Allah dan
rasulnya saja. Adapun amal perbuatan tidak merupakan suatu adanya iman.
Berdasarkan hal ini, sesorang tetap dianggap mukmin walaupun meningggalkan
perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman
di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat ataupun gangguan atas
seorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya denganmenjauhkan
diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
5.
Sub-sub sekte aliran Murji’ah.
1.
Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm
bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT,
rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya,
kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah
mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari
Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal
yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah
berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan
neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
2.
As-Shalihiyah diambil dari nama
tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini
berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada Allah SWT,
sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak bertambah
dan tidak berkurang.
3.
Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus
bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari pengetahuan
tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur kebalikan dari
itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan
karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat
sama sekali tidak merusak iman.
4.
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid
Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah.
Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman,
semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat,
banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak
atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir. Al-Ghailaniyah di
pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada
Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
5.
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu
Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya
mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui
sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui
adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya
syari’at.
6.
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar
Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada
Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan
secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka
bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
7.
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah
Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan
dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang
dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan. Sebagai aliran yang berdiri
sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun
demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat
Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai
pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang
umum disepakati oleh umat Islam.[12][12]
Kesimpulan
Tahkim (arbitrase) inilah awal dari kemunculan aliran
Khawarij dan Murji’ah. Khawarij ialah kelompok pengikut Ali yang keluar dari barisan karena
ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam
perang shiffin pada tahun tahun 37 H./ 648 M. dengan kelompok Bughat
(pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Asal mula gerakan khawarij ini masalah politik semata-mata namun kemudian
berkembang mewnjadi corak keagamaan. Seperti tentang doktrin-doktrin mereka,
memahami Alquran dan juga status orang yang memperbuat dosa besar.
Aliran Murji’ah, aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka
menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti.
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini
terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem.
Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits.Golongan moderat
ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal
dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh
karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Sedangkan tokoh – tokoh
kelompok ekstrim adalah Jahm bin Safwan, Abu Hasan As-Shalihi, Yunus bin
An-Namiri, Ubaid Al-Muktaib, Abu Sauban, Bisyar Al-Marisi, dan Muhammad bin
Karram. Golongan ekstrim ini berpendapat bahwa Islam percaya pada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman
dan kafir tempatnya hanyalah dalam hati, bukan menjadi bagian lain dari tubuh
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad
Ahlussunnah wal jama’ah Jakarta: Radarjaya Offset, 2008.
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Keshahihan Hadits Iftiraqul Ummah,
Firqah-firqah Sesat di dalam Islam, Aqidah Salaf Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, Jakarta: Pustaka Imam Muslim, 2005.
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia ,
1998.
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,
2000
Http://www.salafyoo.net/khawarij ,sejarah ajarannya dalam perspektif islam.
Diakses tanggal 16-03-2013.
Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/kalam, Malang: UIN-Maliki
Press, 2010.
Nasir, A. Salihun, Pengantar
Ilmu Kalam, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Rosihon Anwar, Abdul Rozak dan Maman Abdu Djalel, Ilmu Kalam
Bandung: CV Pustaka Setia, 2006.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia
2006.
Wardani, Efistemologi Kalam Abad Pertengahan, Yogyakarta: LkiS,
2003.